EMOSI
A.
Pengertian Emosi
Secara etimologis emosi
berasal dari kata Prancis emotion, yang berasal lagi dari emouvoir, ‘exicte’ yang berdasarkan kata Latin
emovere, artinya keluar. Dengan demikian secara etimologis emosi berati “bergerak keluar”.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa emosi adalah suatu
keadaan kejiwaan yang mewarnai tingkah laku. Emosi juga diartikan sebagai suatu
reaksi psikologis dalam bentuk tingkah laku gembira, bahagia, sedih, berani,
takut, marah, muak, haru, cinta, dan sejenisnya. Biasanya emosi muncul dalam bentuk luapan perasaan dan
surut dalam waktu yang singkat. Hathersall (1985) merumuskan pengertian emosi
sebagai suatu psikologis yang merupakan pengalaman subyektif yang dapat dilihat
dari reaksi wajah dan tubuh. Misalnya seorang remaja yang sedang marah
memperlihatkan muka merah, wajah seram, dan postur tubuh menegang, bertingkah
laku menendang atau menyerang, serta jantung berdenyut cepat.
Selanjutnya Keleinginna and
Keleinginan (1981) berpendapat bahwa emosi seringkali berhubungan dengan tujuan
tingkah laku. Emosi sering didefinisikan dalam istilah perasaan (feeling),
misalnya pengalaman-pengalaman afektif, kenikmatan atau ketidaknikmatan, marah,
takut bahagia, sedih dan jijik.
Emosi merupakan perpaduan dari beberapa perasaan yang
mempunyai itensitas yang relatif tinggi, dan menimbulkan suatu gejolaksuasana
batin, suatu stirred up or aroused state of the human organization.[1]
Dari berbagai pengertian emosi di atas dapat diambil
kesimpulan bahwa emosi merupakan reaksi psikologi seseorang dalam bertindak
atau melakukan suatu tindakan, misalnya menangis, marah, benci, takut, sedih,
haru, cinta, muak, bahagia dan lain-lain.
B.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Emosi
1.
Faktor Internal
Umumnya emosi seseorang muncul berkaitan erat dengan apa yang
dirasakan seseorang secara individu. Mereka merasa tidak puas, benci terhadap
diri sendiri dan tidak bahagia. Adapun gangguan emosi yang mereka alami antara
lain adalah:
a.
Merasa tidak terpenuhi kebutuhan fisik mereka secara
layak sehingga timbul ketidakpuasan, kecemasan dan kebencian terhadap apa yang
mereka alami.
b.
Merasa dibenci, disia-siakan, tidak mengerti dan tidak
diterima oleh siapapun termasuk orang tua mereka.
c.
Merasa lebih banyak dirintangi, dibantah, dihina serta
dipatahkan dari pada disokong, disayangi dan ditanggapi, khususnya ide-ide
mereka.
d.
Merasa tidak mampu atau bodoh.
e.
Merasa tidak menyenangi kehidupan keluarga mereka yang
tidak harmonis seperti sering bertengkar, kasar, pemarah, cerewet dan bercerai.
f.
Merasa menderita karena iri terhadap saudara karena
disikapi dan dibedakan secara tidak adil.
2. Faktor eksternal
Menurut
Hurlock (1980) dan Cole (1963) faktor yang mempengaruhi emosi adalah :
a.
Orang tua atau guru memperlakukan mereka seperti anak
kecil yang membuat harga diri mereka dilecehkan.
b.
Apabila dirintangi, anak membina keakraban dengan
lawan jenis.
c.
Terlalu banyak dirintangi dari pada disokong, misalnya
mereka lebih banyak disalahkan, dikritik oleh orang tua atau guru, akan cenderung
menjadi marah dan mengekspresikannya dengan cara menentang keinginan orang tua,
mencaci maki guru, atau masuk geng dan bertindak merusak (destruktif).
d.
Disikapi secara tidak adil oleh orang tua, misalnya
dengan cara membandingkan dengan saudaranya yang lebih berprestasi dan lainnya.
e.
Merasa kebutuhan tidak dipenuhi oleh orang tua padahal
orang tua mampu.
f.
Merasa disikapi secara otoriter, seperti dituntut
untuk patuh, banyak dicela, dihukum dan dihina.
C.
Perkembangan Niai, Moral
dan Sikap
Nilai (value) merupakan
rujukan dan keyakinan dalam menentukan pilihan, ukuran untuk menentukan apakah
sesuatu itu baik atau buruk. Nilai adalah berupa norma, etika, peraturan,
undang-undang, adat kebiasaan, aturan agama, dan rujukan lainnya yang memiliki
harga dan dirasakan berharga bagi seseorang dalam menjalani kehidupannya.
Nilai-nilai kehidupan adalah norma-norma yang berlaku dalam
masyarakat, misalnya adat kebiasaan dan sopan santun (Sutikna, 1988 : 5). Sopan
santun, adat, dan kebiasaan serta nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila
adalah nilai-nilai hidup yang menjadi pegangan seseorang dalam kedudukannya
sebagai warga negara Indonesia dalam hubungan hidupnya dengan negara serta
dengan sesama warga negara.
Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila yang termasuk
dalam sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, antara lain:
1. Mengakui persamaan derajat,
persamaan hak, dan persamaan kewajiban antara sesama manusia.
2. Mengembangkan sikap tenggang
rasa.
3. Tidak semana-mena terhadap orang
lain, berani membela kebenaran dan keadilan, dan sebagainya.
Moral adalah
ajaran tentang baik buruk perbuatan dan kelakuan, akhlak, kewajiban, dan
sebagainya (Purwodarminto, 1957 : 957). Dalam moral diatur segala perbuatan
yang dinilai baik dan perlu dilakukan, dan sesuatu perbuatan yang dinilai tidak
baik dan perlu dihindari. Moral berkaitan dengan kemampuan untuk membedakan
antara perbuatan yang benar dan yang salah. Dengan demikian, moral merupakan
kendali dalam bertingkah laku.
Sikap adalah
keseluruhan dari kecenderungan dan perasaan, pemahaman, gagasan, rasa takut,
perasaan terancam dan keyakinan-keyakinan tentang suatu hal. Sikap adalah
kesiapan seseorang untuk memperlakukan sesuatu objek. Dengan kata lain bahwa
sikap itu adalah kecenderungan bertindak pada seseorang.
Sikap berkaitan
dengan motif dan mendasari tingkah laku seseorang, dapat diramalkan tingkah
laku apa yang dapat terjadi dan akan diperbuat jika telah diketahui sikapnya.
Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi berupa
kecenderungan (predisposisi) tingkah laku. Jadi sikap merupakan kesiapan untuk
bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan
terhadap objek tersebut.
Menurut Danel
Suasanto, pertumbuhan ataupun perkembangan pada masa remaja biasanya ditandai
oleh beberapa perubahan-perubahan seperti dibawah ini :
1.
Perubahan Fisik
Pada masa remaja terjadi
pertumbuhan fisik yang cepat dan proses kematangan seksual. Beberapa kelenjar
yang mengatur fungsi seksualitas pada masa ini telah mulai matang dan
berfungsu. Disamping itu tanda-tanda seksual sekunder telah mulai nampak pada
diri remaja.
2.
Perubahan intelek
Menurut perkembangan kognitif
yang dibuat oleh Jean Piaget, seorang remaja telah
beralih dari masa konkrit-operasional ke masa formal-operasional. Pada masa konkrit-operasional,
seseorang mampu berpikir sistematis terhadap hal-hal atau obyek-obyek yang
bersifat konkrit, sedang pada masa formal operasional ia sudah mampu berpikir
se-cara sistematis terhadap hal-hal yang bersifat abstrak dan hipotetis. Pada
masa remaja, seseorang juga sudah dapat berpikir secara kritis.
3. Perubahan emosi
Pada umumnya remaja bersifat emosional. Emosinya
berubah menjadi labil. Menurut aliran tradisionil yang dipelopori oleh G.
Stanley Hall, perubahan ini terutama disebabkan oleh perubahan yang terjadi
pada kelenjar-kelenjar hor-monal. Namun penelitian-penelitian ilmiah
selanjutnya menolak pendapat ini. Sebagai contoh, Elizabeth B. Hurlock
menyatakan bahwa pengaruh lingkungan sosial terhadap per-ubahan emosi pada masa
remaja lebih besar artinya bila dibandingkan dengan pengaruh hormonal.
4. Perubahan sosial
Pada masa remaja, seseorang memasuki status sosial
yang baru. Ia dianggap bukan lagi anak-anak. Karena pada masa remaja terjadi
perubahan fisik yang sangat cepat sehingga menyerupai orang dewasa, maka
seorang remaja juga sering diharapkan bersikap dan bertingkahlaku seperti orang
dewasa. Pada masa remaja, seseorang cenderung untuk meng-gabungkan diri dalam
‘kelompok teman sebaya’. Kelompok so-sial yang baru ini merupakan tempat yang aman
bagi remaja. Pengaruh kelompok ini bagi kehidupan mereka juga sangat kuat,
bahkan seringkali melebihi pengaruh keluarga. Menu-rut Y. Singgih D. Gunarsa
& Singgih D. Gunarsa, kelompok remaja bersifat positif dalam hal memberikan
kesempatan yang luas bagi remaja untuk melatih cara mereka bersikap,
bertingkahlaku dan melakukan hubungan sosial. Namun kelompok ini juga dapat
bersifat negatif bila ikatan antar mereka menjadi sangat kuat sehingga kelakuan
mereka menjadi “overacting’ dan energi mereka disalurkan ke tujuan yang
bersifat merusak.
5. Perubahan moral
da masa remaja terjadi perubahan kontrol
tingkahlaku moral: dari luar menjadi dari dalam. Pada masa ini terjadi juga
perubahan dari konsep moral khusus menjadi prinsip moral umum pada remaja.
Karena itu pada masa ini seorang remaja sudah dapat diharapkan untuk mempunyai
nilai-nilai moral yang dapat melandasi tingkahlaku moralnya. Walaupun demikian,
pada masa remaja, seseorang juga mengalami kegoyahan tingkah laku moral. Hal
ini dapat dikatakan wajar, sejauh kegoyahan ini tidak terlalu menyimpang dari
moraliatas yang berlaku, tidak terlalu merugikan masyarakat, serta tidak
berkelanjutan setelah masa remaja berakhir.
D.
Teori Perkembangan Moral
Menurut
teori Kohlberg telah menekankan bahwa perkembangan moral didasarkan terutama
pada penalaran moral dan berkembang secara bertahap. Dalam Teori Kohlberg
mendasarkan teori perkembangan moral pada prinsip-prinsip dasar hasil temuan
Piaget. Menurut Kohlberg sampai pada pandangannya setelah 20 tahun melakukan
wawancara yang unik dengan anak-anak. Dalam wawancara , anak-anak diberi
serangkaian cerita dimana tokoh-tokohnya menghadapi dilema-dilema moral.
Berikut ini ialah dilema Kohlberg yang paling populer:
” Di
Eropa seorang perempuan hampir meninggal akibat sejenis kanker khusus. Ada satu
obat yang menurut dokter dapat menyelamatkannya. Obat tersebut adalah sejenis
radium yang baru-baru ini ditemukan oleh seorang apoteker di kota yang sama.
Biaya membuat obat ini sangat mahal, tetapi sang apoteker menetapkan harganya 10X
lebih mahal dari biaya pembuatan obat tersebut. Untuk pembuatan 1 dosis obat ia
membayar $ 200 dan menjualnya $2.000. Suami pasien perempuan, Heinz pergi ke
setiap orang yang ia kenal untuk meminjam uang, tetapi ia hanya dapat
mengumpulkan $1.000 atau hanya setengah dari harga obat. Ia memberitahu
apoteker bahwa istrinya sedang sakit dan memohon agar apoteker bersedia menjual
obatnya lebih murah atau membolehkannya membayar setengahnya kemudian. Tetapi
sang apoteker berkata ”tidak, aku menemukan obat, dan aku harus mendapatkan
uang dari obat itu.” Heinz menjadi nekat dan membongkar toko obat itu untuk
mencuri obat bagi istrinya.”
Cerita
ini adalah salah satu dari 11 cerita yang dikembangkan oleh Kohlberg untuk
menginvestigasi hakekat pemikiran moral. Setelah membaca cerita, anak-anak yang
menjadi responden menjawab serangkaian pertanyaan tentang dilema moral.
Haruskah Heinz mencuri obat? Apakah mencuri obat tersebut benar atau salah?
Pataskah suami yang baik itu mencuri? Dll. Berdasarkan penalaran-penalaran yang
diberikan oleh responden dalam merespon dilema moral ini dan dilema moral lain.
Dengan adanya cerita di atas menurut Kohlberg menyimpulkan terdapat 3 tingkat
perkembangan moral, yang masing-masing ditandai oleh 2 tahap.
Konsep
kunci untuk memahami perkembangan moral, khususnya teori Kohlberg , ialah
internalisasi yakni perubahan perkembangan dari perilaku yang dikendalikan
secara eksternal menjadi perilaku yang dikendalikan secara internal.
Teori
Perkembangan moral dalam psikologi umum menurut Kohlberg terdapat 3 tingkat dan
6 tahap pada masing-masing tingkat terdapat 2 tahap diantaranya sebagai berikut
:
Tingkat Satu :
Penalaran Prakonvensional.
Penalaran Prakonvensional adalah :
tingkat yang paling rendah dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkat
ini, anak tidak memperlihatkan internalisasi nilai-nilai moral- penalaran moral
dikendalikan oleh imbalan (hadiah) dan hukuman eksternal. Dengan kata lain
aturan dikontrol oleh orang lain (eksternal) dan tingkah laku yang baik akan
mendapat hadiah dan tingkah laku yang buruk mendapatkan hukuman.
Tahap I.
Orientasi hukuman dan ketaatan.
Yaitu : tahap pertama yang mana pada
tahap ini penalaran moral didasarkan atas hukuman dan anak taat karena orang
dewasa menuntut mereka untuk taat
Tahap II.
Individualisme dan tujuan
Pada tahap ini penalaran moral
didasarkan atas imbalan (hadiah)dan kepentingan sendiri. Anak-anak taat bila
mereka ingin taat dan bila yang paling baik untuk kepentingan terbaik adalah
taat. Apa yang benar adalah apa yang dirasakan baik dan apa yang dianggap
menghasilkan hadiah.
Tingkat Dua :
Penalaran Konvensional
Penalaran Konvensional merupakan
suatu tingkat internalisasi individual menengah dimana seseorang tersebut
menaati stándar-stándar (Internal)tertentu, tetapi mereka tidak menaati
stándar-stándar orang lain (eksternal)seperti orang tua atau aturan-aturan
masyarakat.
Tahap III.
Norma-norma Interpersonal
Yaitu dimana seseorang menghargai
kebenaran, keperdulian dan kesetiaan kepada orang lain sebagai landasan pertimbangan-pertimbangan
moral. Seorang anak mengharapkan dihargai oleh orang tuanya sebagai yang
terbaik.
Tahap IV
Moralitas Sistem Sosial
Yaitu dimana suatu pertimbangan itu
didasarkan atas pemahaman atuyran sosial, hukum-hukum, keadilan, dan kewajiban.
Tingkat Tiga :
Penalaran Pascakonvensional
Yaitu Suatu pemikiran tingkat tinggi
dimana moralitas benar-benar diinternalisasikan dan tidak didasarkan pada
standar-standar orang lain. Seseorang mengenal tindakan-tindakan moral
alternatif, menjajaki pilihan-pilihan, dan kemudian memutuskan berdasarkan
suatu kode.
Tahap V.
Hak-hak masyarakat versus hak-hak individual
Yaitu nilai-nilai dan aturan-aturan
adalah bersifat relatif dan bahwa standar dapat berbeda dari satu orang ke
orang lain.
Tahap VI.
Prinsip-prinsip Etis Universal
Yaitu seseorang telah mengembangkan
suatu standar moral yang didasarkan pada hak-hak manusia universal. Dalam
artian bila sseorang itu menghadapi konflik antara hukum dan suara hati,
seseorang akan mengikuti suara hati.
Pada perkembangan moral menurut
Kohlberg menekankan dan yakin bahwa dalam ketentuan diatas terjadi dalam suatu
urutan berkaitan dengan usia. Pada masa usia sebelum 9 tahun anak cenderung
pada prakonvensional. Pada masa awal remaja cenderung pada konvensional dan
pada awal masa dewasa cenderung pada pascakonvensional. Demikian hasil teori
perkembangan moral menurut kohlberg dalam psikologi umum.
Ketika kita khususkan dalam
memandang teori perkembangan moral dari sisi pendidikan pada peserta didik yang
dikembangkan pada lingkungan sekolah maka terdapat 3 tingkat dan 6 tahap yaitu
:
Tingkat Satu :
Moralitas Prakonvensional
Yaitu : ketika manusia berada dalam
fase perkembangan prayuwana mulai dari usia 4-10 tahun yang belum menganggap
moral sebagai kesepakatan tradisi sosial.Yang man dimasa ini anak masih belum
menganggap moral sebagai kesepakatan tradisi sosial.
Pada tingkat pertama ini terdapat 2
tahap yaitu :
Tahap 1.
Orientasi kepatuhan dan hukuman.
Adalah penalaran moral yang yang
didasarkan atas hukuman dan anak-anak taat karena orang-orang dewasa menuntut
mereka untuk taat. Dengan kata lain sangat memperhatikan ketaatan dan hukum.
Dalam konsep moral menurut Kohlberg ini anak menentukan keburukan perilaku
berdasarkan tingkat hukuman akibat keburukan tersebut. Sedangkan perilaku baik
akan dihubungkan dengan penghindaran dari hukuman.
Tahap 2.
Memperhatikan Pemuasan kebutuhan.
Yang bermakna perilaku baik
dihubungkan dengan pemuasan keinginan dan kebutuhan sendiri tanpa
mempertimbangkan kebutuhan orang lain.
Tingkat Dua :
Moralitas Konvensional
Yaitu ketika manusia menjelang dan
mulai memasuki fase perkembangan yuwana pada usia 10-13 tahun yang sudah
menganggap moral sebagai kesepakatan tradisi sosial.
Pada Tingkat II ini terdapat 2 tahap
yaitu :
Tahap 3.
Memperhatikan Citra Anak yang Baik
Maksudnya : anak dan remaja
berperilaku sesuai dengan aturan dan patokan moral agar dapat memperoleh
persetujuan orang dewasa, bukan untuk menghindari hukuman.
Semua perbuatan baik dan buruk
dinilai berdasarkan tujuannya, jadi ada perkembangan kesadaran terhadap
perlunya aturan. Dalam hal ini terdapat pada pendidikan anak.
Pada tahap 3 ini disebut juga dengan
Norma-Norma Interpernasional ialah : dimana seseorang menghargai kebenaran,
keperdulian, dan kesetiaan kepada orang lain sebagai landasan pertimbangan-pertimbangan
moral. Anak-anak sering mengadopsi standar-standar moral orang tuanya sambil
mengharapkan dihargai oleh orang tuanya sebagi seorang anak yang baik.
Tahap 4.
Memperhatikan Hukum dan Peraturan.
Anak dan remaja memiliki sikap yang
pasti terhadap wewenang dan aturan.Hukum harus ditaati oleh semua orang.
Tingkat Tiga :
Moralitas Pascakonvensional
Yaitu ketika manusia telah memasuki
fase perkembangan yuwana dan pascayuwana dari mulai usia 13 tahun ke atas yang
memandang moral lebih dari sekadar kesepakatan tradisi sosial. Dalam artian
disini mematuhi peraturan yang tanpa syarat dan moral itu sendiri adalah nilai
yang harus dipakai dalam segala situasi.
Pada perkembangan moral di tingkat 3
terdapat 2 tahap yaitu :
Tahap 5.
Memperhatikan Hak Perseorangan.
Maksudnya dalam dunia pendidikan itu
lebih baiknya adalah remaja dan dewasa mengartikan perilaku baik dengan hak
pribadi sesuai dengan aturan dan patokan sosial.
Perubahan hukum dengan aturan dapat
diterima jika ditentukan untuk mencapai hal-hal yang paling baik.. Pelanggaran
hukum dengan aturan dapat terjadi karena alasan-alasan tertentu.
Tahap 6.
Memperhatikan Prinsip-Prinsip Etika.
Maksudnya : Keputusan mengenai
perilaku-pwerilaku sosial berdasarkan atas prinsip-prinsip moral, pribadi yang
bersumber dari hukum universal yang selaras dengan kebaikan umum dan
kepentingan orang lain.Keyakinan terhadap moral pribadi dan nilai-nilai tetap
melekat meskipun sewaktu-waktu berlawanan dengan hukum yang dibuat untuk
menetapkan aturan sosial. Contoh : Seorang suami yang tidak punya uang boleh
jadi akan mencuri obat untuk menyelamatkan nyawa istrinya dengan keyakinan
bahwa melestarikan kehidupan manusia merupakan kewajiban moral yang lebih
tinggi daripada mencuri itu sendiri.
E.
Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Moral
Perkembangan moral seorang
anak banyak dipengaruhi oleh lingkungannya. Anak memperoleh nilai-nilai moral
dari lingkungannya, terutama dari orangtuanya. Dia belajar untuk mengenal
nilai-nilai dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai tersebut. Dalam
mengembangkan moral anak, peranan orangtua sangatlah penting, terutama pada
waktu anak masih kecil. Beberapa sikap orangtua yang perlu diperhatikan
sehubungan dengan perkembangan moral anak, antara lain:
1.
Konsisten dalam mendidik anak
Ayah dan ibu harus memiliki sikap dan perlakuan yang
sama dalam melarang atau membolehkan tingkah laku tertentu kepada anak. Suatu
tingkah laku anak yang dilarang oleh orangtua pada suatu waktu, harus juga
dilarang apabila dilakukan kembali pada waktu lain.
2.
Sikap orangtua dalam keluarga
Secara tidak langsung, sikap orangtua terhadap anak,
sikap ayah terhadap ibu ataupun sebaliknya, dapat mempengaruhi perkembangan
moral anak, yaitu melalui proses peniruan (imitasi). Sikap orangtua yang keras
(otoriter) cenderung melahirkan sikap disiplin semu pada anak, sedangkan sikap
yang acuh tak acuh atau sikap masa bodoh, cenderung mengembangkan sikap kurang
bertanggung jawab dan kurang mempedulikan norma pada diri anak. Sikap yang
sebaiknya dimiliki oleh orangtua adalah sikap kasih sayang, keterbukaan,
musyawarah (dialogis), dan konsisten.
3.
Penghayatan dan pengamalan agama yang dianut
Orang tua merupakan panutan (teladan) bagi anak, termasuk
panutan dalam mengamalkan ajaran agama. Orangtua yang menciptakan iklim yang
religius (agamis), dengan cara membersihkan ajaran atau bimbingan tentang
nilai-nilai agama kepada anak, maka anak akan mengalami perkembangan moral yang
baik.
4.
Sikap konsisten orangtua dalam menerapkan norma
Orang tua yang tidak menghendaki anaknya berbohong atau
berlaku tidak jujur, maka mereka harus menjauhkan dirinya dari perilaku
berbohong atau tidak jujur. Apabila orangtua tidak mengajarkan kepada anak agar
berperilaku jujur, bertutur kata yang sopan, bertanggung jawab atau taat
beragama, tetapi orangtua sendiri menampilkan perilaku yang sebaliknya, maka
anak akan mengalami konflik pada dirinya, dan akan menggunakan ketidak
konsistenan orangtua itu sebagai alasan untuk tidak melakukan apa yang
diinginkan oleh orangtuanya, bahkan mungkin dia akan berperilaku seperti
orangtuanya.[2]
F.
Upaya Pengembangan Moral, Nilai dan Sikap Serta Implikasinya bagi
Pendidikan
Tahap-tahap perkembangan moral pada remaja
telah mencapai pada tahap moralitas hasil interaksi yang seimbang yaitu secara
bertahap anak mengadakan internalisasi nilai moral dari orangtuanya dan
orang-orang dewasa di sekitarnya. Pada akhir masa remaja terdapat lima
perubahan yang dapat dilukiskan sebagai berikut:
- Pandangan moral remaja mulai menjadi abstrak, menifestasi dari ciri ini adalah prilaku remaja yang suka saling bernasihat sesama teman dan kesukaannya pada kata-kata mutiara.
- Pandangan moral remaja sering terpusat pada apa yang benar dan apa yang salah. Sehingga remaja sangat antusias pada usaha-usaha reformasi sosial.
- Penilaian moral pada remaja semakin mendasarkan diri pada pertimbangan kognitif, yang mendorong remaja mulai menganalisis etika sosial dan mengambil keputusan kritis terhadap berbagai masalah moral yang dihadapinya.
- Penilaian moral yang dilakukan remaja menunjukkan perubahan yang bergerak dari sifat egosentris menjadi sosiosentris, sehingga remaja senang sekali bila dilibatkan dalam kegiatan memperjuangkan nasib sesama, kesetiakawanan kelompok yang kadang-kadang untuk ini remaja bersedia berkorban fisik.
- Penilaian moral secara psikis juga berkembang menjadi lebih mendealam yang dapat merupakan sumber emosi dan menimbulkan ketegangan-ketegangan psikologis. Sehingga pada akhir masa remaja moral yang dianutnya diharapkan menjadi kenyataan hidup dan menjadi barang berharga dalam hidupnya.
Apa yang terjadi dalam diri pribadi
seseorang hanya dapat didekati melalui cara-cara tidak langsung, yakni dengan
mempelajari gejala dan tingkah laku seseorang tersebut, maupun membandingkannya
dengan gejala sertra tingkah laku orang lain. Diantara proses kejiwaan yang
sulit untuk dipahami adalah proses terjadinya dan terjelmanya nilai-nilai hidup
dalam diri individu, yang mungkin didahului oleh pengenalan nilai secara
intelektual,disusul oleh penhayatan nilai tersebut, dan kemudian tumbuh didalam
diri seseorang sedemikian rupa kuatnya sehingga seluruh jalan pikiran, tingkah
lakunya serta sikapnya terhadap segala sesuatu di luar dirinya, bukan saja
diwarnai tetapi juga dijiwai oleh nilai tersebut.
Karena itu, ada kemungkinan bahwa ada
individu yang tahu tentang sesuatu nilai tetap menjadi pengetahuan. Tidak semua
individu mencapai tingkat perkembangan moral seperti yang diharapkan, maka kita
dihadapkan dengan masalah pembinaan. Adapun upaya-upaya yang dilakukan dalam
mengembangkan nilai, moral dan sikap remaja adalah:
1.
Menciptakan Komunikasi
Dalam komunikasi didahului dengan pemberian
informasi tentang nilai-nilai dan moral. Anak tidak pasif mendengarkan dari
orang dewasa bagaimana seseorang harus bertingkah laku sesuai dengan norma dan
nilai-nilai moral, tetapi anak-anak harus dirangsang supaya lebih aktif.
Hendaknya ada upaya yang mengikutsertakan remaja dalam pembicaraan dan
dalam pengambilan keputusan keluarga. Sedangkan dalam kelompok sebaya,
remaja turut serta secara aktif dalam tanggung jawab dan penentuan maupun
keputusan kelompok.
Disekolah para remaja hendaknya diberi
kesempatan berpartisipasi untuk mengembangkan aspek moral, misalnya dalam kerja
kelompok,sehingga dia belajar untuk tidak melakukan sesuatu yang akan merugikan
orang lain karena hal ini tidak sesuai dengan nilai atau norma moral.
2.
Menciptakan Iklim Lingkungan yang Serasi
Seseorang yang mempelajari nilai hidup
tertentu dan moral, kemudian berhasil memiliki sikap dan tingkah laku sebagai
pencerminan nilai hidup tersebut umunya adalah seseorang yang hidup dalam
lingkungan yang secara positif, jujur, dan konsekuen yang senantiasa mendukung
bentuk tingkah laku yang merupakan pencerminan nilai hidup tersebut. Ini
berarti antara lain, bahwa usaha pengembangan tingkah laku nilai hidup
hendaknya tidak hanya mengutamakan pendekatan-pendekatan intelektual semata,
tetapi mengutamakan adanya lingkungan yang kondusif dimana factor-faktor
lingkungan itu sendiri merupakan penjelmaan yang konkret dari nilai-nilai hidup
tersebut. Karena lingkungan merupakan factor yang cukup luas dan sangat
bervariasi, maka tampaknya yang perlu diperhatikan adalah lingkungan sosial
terdekat terutama mereka yang berfungsi sebagai pendidik dan Pembina yaitu
orang tua dan guru.[3]
DAFTAR PUSTAKA
Nana
Syaodih Sukmadinata.Landasan Psikologi Psoses Pendidikan.Bandung:PT
Remaja
Rosdakarya.2011
Syamsu
Yusuf.Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja.Bandung:PT Remaja
Rosdakarya
Kimmyaulia.Perkembangan
Nilai, Moral dan Sikap. Di unduh dari
http://kimmyaulia.blogspot.com/2014/03/perkembangan-nilai-moral-dan-sikap.html
Eva
Yuliawati.Makalah Perkembangan Moral.Di unduh dari
http://evayuliawati.blogspot.com/2013/03/makalah-perkembangan-moral.html
http://www.anekamakalah.com/2012/07/perkembangan-nilai-moral-dan-sikap.html
Jum’atun
Nikmah.Perkembangan Nilai, Moral, dan Sikap.Di unduh dari
sikap/, diakses tgl 10 Mei 2015, jam
15.50
[1]
Nana Syaodih Sukmadinata, Landsan
Psikologi Psoses Pendidikan, PT Remaja Rosdakarya,Bandung:2011 hlm 80
[2]
Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung : PT Remaja
Rosdakarya), 2013. Hlm. 133-134.
[3] Jum’atun Nikmah, 2012,
PERKEMBANGAN NILAI, MORAL DAN SIKAP, https://jumatunnikmah.wordpress.com/2012/06/02/perkembangan-nilai-moral-dan-sikap/, diakses tgl 10 Mei 2015, jam
15.50
0 komentar:
Posting Komentar